Menyapa KNPI Aceh (Menyongsong Kongres XV KNPI di Banda Aceh)


 

Artikel ini sudah tayang di harian cetak Serambi Indonesia (grup Tribun) edisi Rabu 19 September 2018. Silakan klik di SINI untuk membaca di situs Serambi Indonesia.

***

ACEH akan menjadi tuan rumah Kongres XV Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang akan dilaksanakan pada Oktober mendatang. Namun saat ini banyak mata tertuju pada KNPI Aceh terkait alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) sebesar Rp 9,8 miliar untuk kongres KNPI. Banyak pihak mengkritik karena acara nasional tersebut menggunakan anggaran daerah yang bersumber dari APBA 2018 itu.

 

 

Meskipun kritikan tersebut muncul di dunia maya, namun tidak sedikit juga pengaruhnya di dunia nyata, terutama bagi pengurus KNPI, panitia, termasuk pemerintah yang menyediakan anggaran, yaitu Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Aceh. Banyak pihak yang mendesak instansi ini untuk mengevaluasi anggaran tersebut, bahkan ada yang menyarankan untuk tidak mencairkan dana yang sudah dianggarkan itu.

Melalui tulisan ini, penulis hendak mendudukkan berbagai kritikan tersebut secara proporsional dan konstruktif. Pertama, kita harus mengapresiasi kepada pengurus KNPI Aceh periode sebelumnya yang sudah berhasil meyakinkan pengurus nasional dan para pengurus daerah lain untuk menjadikan Aceh sebagai tempat Kongres KNPI 2018. Dan, kedua, perebutan tuan rumah menjadi daya tarik sendiri dalam setiap kongres atau musyawarah. Mengapa menjadi tuan rumah dalam perhelatan besar menjadi rebutan?

Nilai tambah
Asalamualaikum KNPI Aceh! Secara sederhana dapat kita jabarkan nilai tambah dari aspek bisnis dan perputaran ekonomi, yaitu bermula dari kedatangan banyak peserta dan tamu dari luar daerah yang membutuhkan transportasi, penginapan, makanan, dan juga kunjungan ke tempat-tempat wisata. Perlu kita sadari bersama bahwa dalam berbagai ruang tersebut mulai dari transportasi sampai dengan makanan, ada banyak pelaku usaha dan pekerja lokal yang mendapatkan manfaatnya, menambah pemasukannya, meningkatkan omsetnya, dan sebagainya.

Di samping itu, hal yang sangat penting lainnya adalah dampak kebanggaan (pride) sebagai tuan rumah yang mampu menyelanggarakan perhelatan berskala nasional. Tidak tertutup kemungkinan akan muncul kepercayaan (trust) dan lirikan dari organisasi besar lainnya untuk mempertimbangkan Aceh sebagai tempat perhelatan acara akbar seperti Kongres KNPI.

Jika hal itu terwujud, maka akan lahir industri baru di Aceh, yaitu industri penyelenggaraan acara-acara nasional maupun internasional. Kita tahu bahwa industri ini selama ini didominasi oleh Jakarta, Bali, NTB, dan Makassar. Melihat dari perspektif ini, saya pikir kita sepakat bahwa kongres KNPI akan membawa dampak positif ini. Lantas mengapa menjadi sorotan dan kritikan?

Ada beberapa sudut yang bisa kita runut untuk melihat titik terangnya. Sudut pertama adalah sumber anggaran yang berasal dari APBA. Banyak masyarakat yang tidak setuju dengan mengalokasikan APBA untuk kepentingan kongres ini, yang notabene berlevel nasional. Alasan ini terlihat benar adanya karena acara nasional seyogianya sumber anggarannya juga berasal dari nasional yaitu APBN. Namun kita juga harus mengakui bahwa Aceh sebagai tuan rumah akan menerima manfaat dari perhelatan acara nasional tersebut.

Kita juga menyadari bahwa selama ini banyak acara nasional, di mana pemerintah daerah juga ikut mengalokasikan sejumlah anggaran. Terlebih lagi KNPI sebagai organisasi “plat merah”. Dalam konteks ini, saya yakin adalah sebuah kewajaran untuk Pemerintah Daerah berkontribusi dalam menyukseskan kongres KNPI. Yang menjadi ruang debatnya adalah nominal alokasi anggaran yang menurut sebagian orang terlalu fantastis.

Sudut kedua yang menjadi faktor penolakan alokasi APBA untuk kongres KNPI adalah kiprah KNPI terhadap masyarakat. Banyak pihak yang menilai bahwa KNPI tidak memberikan dampak positif yang signifikan terhadap pemuda. Mulai dari persoalan pengangguran, penggunaan narkoba, pendidikan dan sejenisnya, di mana kiprah KNPI tidak terlihat kiprahnya. Intinya, banyak orang yang mempertanyakan apakah alokasi miliaran rupiah tersebut sesuai dengan manfaat dari kerja-kerja KNPI selama ini.

Meskipun bukan bagian dari KNPI secara struktural, sebagai entitas kepemudaan, saya berharap bahwa kritikan liar dan tajam dari berbagai pihak terhadap KNPI, dapat dilihat sebagai momentum untuk memperbaiki kiprah KNPI Aceh sekaligus menjadi ajang pembuktian bahwa KNPI Aceh memiliki nilai yang berbeda dan memiliki jiwa membangun daerah dan bangsa.

Harus transparan
Asalamualaikum KNPI Aceh! Hal utama yang harus menjadi perhatian segenap pengurus KNPI Aceh dan panitia kongres adalah transparansi dalam mengelola anggaran, terutama alokasi dari APBA. Jika KNPI sebagai organisasi kepemudaan yang idealis dan akuntabel, maka bukanlah persoalan besar untuk buka-bukaan peruntukan dan penggunaan anggaran yang tidak sedikit tersebut.

Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah mempublikasi rincian peruntukan dan penggunaan anggaran kepada masyarakat baik melalui media sosial, eloktronik maupun cetak. Jika ini dilakukan secara tepat, jelas dan terbuka, saya yakin akan banyak penilaian positif dan apresiasi kepada KNPI.

Tantangan selanjutnya yang harus dilakukan oleh KNPI Aceh dan panitia kongres adalah meminimalisir konflik (jika tidak mampu menghilangkan) baik sebelum, saat berlangsung maupun setelah kongres nanti. Sudah menjadi pemandangan umum bahwa kongres menjadi pertarungan kekuasaan dan saling sikat-menyikat sesama anggota dan pengurus.

Dalam konteks KNPI, ditambah lagi dengan dualisme di nasional yang menjadi blunder dan tidak selesai sampai saat ini. Jika momentum kongres KNPI di bumi Serambi Mekkah ini mampu dijadikan sebagai ruang untuk mempersatukan pihak yang bertikai, saya haqqul yaqin pengurus KNPI Aceh dan panitia kongres kali ini akan meninggalkan legacy yang sangat baik dan berbeda untuk dikenang sepanjang hayat.

Terakhir yang akan menjadi momen pembuktian KNPI Aceh melalui kongres ini adalah memastikan citra Aceh di mata nasional sebagai bangsa yang santun, beradab, damai dan ramah terhadap tamu. Kongres harus menjadi momentum implimentasi nilai-nilai kultural adat geutanyoe peumulia jamee kepada para peserta yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Nusantara.

Jika kongres kali ini adalah kunjungan mereka pertama ke Aceh, maka KNPI Aceh memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa mereka akan kembali lagi ke Aceh. Jika kunjungan kali ini, Aceh harus berkorban sejumlah uang kepada mereka, maka KNPI Aceh memiliki tanggung jawab moral untuk meyakinkan mereka kembali ke Aceh dan membelanjakan uang mereka di kunjungan-kunjungan selanjutnya. Semoga!

* Muhammad Adam, putra Seunuddon Aceh Utara, alumnus Master Kepemimpinan dan Manajemen Pendidikan, Flinders University Australia. Email: adamyca@gmail.com

No comments:

Post a Comment